Senin, 09 Mei 2016

Inspirasi Dari Seorang Ayah


Sepnath Tuarissa
Mangartilah hidop jang hidop mangarti

Yesus
Y=ang

E=ngkau
S=embah
U=ntuk
S=elamanya


Remaja
R=ajinlah
E=ngkau
M=embaca
A=lkitab
J=angan
A=lpa

Dosa
D=endam
O=rang
S=elalu
A=da
.
Rokok
R=amai, 
O =rang, 
K=urangi, 
O=ngkos, 
K=eluarga


Sopi
S=etiap
O=rang
P=asti
I=ngin



@ Sepnath Tuarissa


Bersambung

Senin, 25 April 2016

Kapitang Jongker, Kapitang Pattimura diantara Pahlawan dan siapa Ahmad Lussy.?

Patung Kapitang Pattimura
dibangun oleh Brigjen TNI Wing Wiryawan saat memangku jabatan Pangdam XV/Pattimura (sekarang XVI/Pattimura) tahun 1971 telah dipindahkan ke kawasan museum Siwalima di Taman Makmur, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon


Riwayat :Kapitang Jongker 

Nama tidak di ketahui.
Jonker asal Ambon Maluku, juga dikenal pada sejarah kolonial Belanda. Putera dari Sangaji Kuasa dari Manipa yang letaknya antara pulau Seram dan Buru di lahirkan pada 1630. Ia menemani ayahnya ketika orang kaya-kaya Manipa ini menjadi sandera Belanda di Ambon. Pada 1656 ia menjadi pelayan Gubernur Ambon, Arnold De Vlamingh van Oudshoorn yang menyenanginya karena keberanian yang sering diperlihatkannya hingga memberi nama bagi putra pribumi asal Manipa ini menjadi Jonker.Pada 14 Agustus 1656, setelah bergabung dengan pasukan De Vlaming van Oudshoorn tiba di Batavia Ia sangat menonjol karena keterampilannya dalam perkelahian hingga ia menjadi pengawal keamanan bagi Gubernur-Jendral Rijcklof van Goens dan turut bersamanya ke Hindia Muka ( India ) dan Ceylon (kini Srilanka). Dalam suatu pertempuran di Jafnapatam, tangan kirinya kena tembakan dan hancur. Sejak itupun ia hanya bertangan satu. Walau begitu ia tetap di ikut sertakan dalam berbagai peperangan. Karena kemahiran dan keberaniannya di medan perang hingga ia memperoleh pangkat Kapten, tetapi sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan Kapitan Jonker yang angker.Pada 1659, Jonker kembali ke Batavia , dan pada 1 Januari 1665, ia diangkat sebagai pimpinan orang-orang Ambon di Batavia. Pada 1666 di bawah pimpinan Verspeet en Poolman ia di ikut sertakan dalam perang di pantai Barat, dan pada tahun itu oleh Cornelis Speelman ia diikut sertakan berperang di Makassar, Ternate, Banda dan Ambon . Dari hasil keterampilan peperangan yang dilakukannya hingga oleh Speelman ketika berada di Batavia pada 1672, Kapitan Jonker memperoleh akte kenaikan gaji bintang jasa dan surat penghargaan yang di tulis di atas kulit binatang dan tutupi dengan kotak berlapis emas.Pada 1679, ia bersama kesatuannya dilibatkan dalam peperangan di pimpin Kapten Couper di Jawa Timur.Setelah itu bersama kesatuannya asal Ambon ditugaskan menjadi pengawal Susuhunan dari Mataram setelah berhasil melumpuhkan kekuatan Trunojoyo yang ingin menyerang Mataram. Sebagai jasanya, ia memperoleh rantai emas bernilai 300 ringgit. Pada 1681, ia mendampingi Kapten F Tang dalam ekspedisi militer di Palembang dan Jambi. Berlanjut ketika mengalahkan kekuatan Sultan Abu’lFatah dalam perang Banten 1682-83.Namanya mulai tenggelam dan dilupakan ketika pelindungnya, Cornelis Speelaman meninggal. Kapten Jonker tewas ketika di Batavia dalam suatu Pengepungan karena difirnah ingin memberontak terhadap Belanda pada 1689. (Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, II, 1918).

Riwayat Kapitang Pattimura
Nama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Hulaliu, Haruku, Maluku 8 juni tahun 1783. dengan ayah yang bernama Corneles Matulessy yang melahirkan 3 orang anak laki laki di Hulaliu., Pemerintah mencatat dia Lahir di Haria dan Ayahnya bernama Frans Matulessy atau Juga Antoni Matulessy dan Ibunya bernama Fransina Silahoi. dan tidak memiliki Anak. Berbeda Cerita dengan KAPITANG PATIMURA dalam buku INI DIA ASLINYA KAPITAN PATIMURA yang di tulis oleh Luthfi Pattimura dan Kisman Latumakulita yang menyatakan Kapitang Patimura bukanlah Thomas Matulesia tetapi salah satu Kapitang dari Latu yang memiliki Vam Pattimura, dan Negeri Latu sangat meyakini bahwa Kapitang Patimura itu adalah berasal dari Latu
(dalam seminar 1993, Pemerintah beranji untuk melanjutkan seminar tentang ahliwaris dan silsilah Kapitang Pattiura dan atau Thomas Matulessy tetapi sampai saat ini tidak di lakukan sehingga menimbulkan banyak spekulasi sejarah di kalangan masyarakat )

Perjuangan Thomas Matulessia/Matulessy Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata  Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 Di beri nama oleh Saniri Tiga Batang aer sebagai Perang Pattimura kerena perang tersebut dari inisiatif saniri Tiga Batang Aer dalam rapat kilat di negeri Latu di mana penguasanya Neheri Latu saat itu adalah Raja Pattimura yang kemudian kerena keberanian Thomas Matulessia untuk menyanggupi dirinya sebagai Pemimpin pasukan, berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, dan mampu mengatur strategi perang bersama pembantunya. maka diberikanlah dia gelar Kapitan Pattimura oleh Raja tersebut, di tahun 1817 itu juga para Kapitang dan Malesi dari saniri 3 batang aer (Waihata Telu) dengan pasukan Kakehan yang menuju saparua dengan menggunakan kora kora membantu Thomas Matulessia dan kawan kawan para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya,Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. pada tgl 28 Mei 1817 di Baileo Haria Kapitang Pattimura membacakan Proklamasinya yang kemudian di sebut Proklamasi Haria, di dampingi oleh Salembe (penasehatnya) Yeremias Latuihamalo, penyerangan berlangsung dan  sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Pasca penyerangan pada bulan Juli 1817 Pihak Belanda mendatangkan bala bantuan dengan kekuatan dan armada besar di bawa pimpinan Laksamana muda Buykes setelah mendapat surat dari Ambon tentang kejadian di Saparua, sebelum tiba Ambon Buykes singga di ternate dan tidore untuk mengambil lagi pasukan yang berasal dari pribumi yang di sebut dengan Alifuru ternate dan tidore, kekuatan besar ini kemudian menujun Ambon dan terus ke saparua dan melancarkan serangan besar besaran, karena kalah jumlah dan pasukan Pasukan Kapittang Pattimura terdesak dan mulai menyebar, pasukan kakehan kembali keseram dan pada bulan Agustus 1817 Pattimura menyingkir kehutan sekitar Gunung Boi, setelah Belanda berhasil merebut kembali benteng. dalam perburuannya Belanda melancarkan pelayaran Hongi ke pulau Seram dan mengejar semua pasukan yang terlibat termasuk pasukan Kakehan dari saniri 3 batang Aer banyak malesi dan anggota kakehan yang mati dalam perburuan ini, bahkan banyak yang lari naik kehutan hutan di seram, yang tertangkap di bawa ke Pulau Ambon dan di berikan saimbara untuk menemukan Kapitang Pattimura, yang tidak mau di berikan hukuman saling memotong satu dengan yang lainnya hampir sama dengan tradisi pukul sapu. Beliau akhirnya tertangkap oleh penghianatan raja Boi dengan menunjukan tempat persembunyiannya. Pada pada tgl 18 November 1817 Kapitang Pattimura dan kawan kawan yang di tangkap kemudian di bawa ke Ambon, tanggal 23 November 1817 Belanda kembali melancarkan pembersihan dan pengejaran kepada semua yang terlebat dlam membantu Kapitang Pattimura di mulai dari Hila menuu Seram. Sementara di dalam tahanan beberapa kali Thomas dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Kapitang Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Kapitang Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi Matipun pun dilakukan. (Eksekusi dengan di gantung) Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya bersama teman teman seperujangannya yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda,Jenazah Kapitang Pattimura kemudian di pertontonkan oleh Belanda kepada masyakat di Ambon sebagai satu teror dengan harapan tidak ada lagi pemberontak seperti Kapitang Pattimura, di letakan di jalanan dalam bubu besi di dan setelah puas mereka membuang jenazah itu kelaut. Sementara Salemba Yeremias Latuihamalo Penasehat Thomas yang tertangkap dan di interogasi pada 24 Desember 1817 dan dalam pengadilan Belanda di Ambon tgl 2 Februari 1818 di berikan hukuman mati atas tuduhan membantu Thomas Matulessia sebagai penasehat. tapi anehnya Buykes justru memberikan pengampunan kepadanya dengan alasan tidak melakukan pembunuhan. Hukumannya kemudian di beri keringanan dengan hukuman pembuangan/pengasingan selama 25 tahun di pulau jawa. dan kemudian namanya di abadikan pada jalan di kota Jakarta saat ini dengan nama Jalan Salemba Raya.
menurut Om Thomas Matulessy dari Hulaliu (Generasi ke 6 dari Thomas Matulessy ) akibat dari apa yang di lakukan oleh Thomas Matulessy membuat Belanda memcari dan ingin membunuh semua keluarganya, dari sinilah Istri dan 3 anaknya serta keluarganya menggantikan vam mereka menjadi Lessyputi agar selamat dari ancaman pembunuhan sebagai tindak balas dendam Belanda di bawa perintah Laksamana Buyskes. Keluarga kemudian hidup dengan menggunakan vam Lessyputih, baru di tahun 1917 terjadi polimik di negeri Hulaliu saat dimana Pemerintah Negeri Hulaliu berperkara dengan Keluarga anak cucu Thomas Matulessy yang telah mengubah vam mereka menjadi Lessyputih dan mengusir mereka dari tanah tanah milik nenek moyangnya Matulessy dengan anggapan bahwa vam Lessyputih tidak berhak atas tanah tanah Matulessy di negeri Hulaliu. sikap Pemerintah negeri Hulaliu inilah yang membuat anak cucu Thomas Matulessy yang di wakili Benjamin Lessyputih saat itu membuat Surat kepada Pemerintah Hindia Belanda di tanda tangani oleh Matia Lessyputi dan di kirimkan ke Pemerintah Hindia Belanda yang ada di Batavia untuk memohon agar ada pengampunan sehingga mereka bisa kembali kepada vamnya yang semulah Matulessy sesuai Leluhurnya Thomas Matulessy dan surat ini kemudian di terima dan setujui pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1921 dan sejak saat itulah keluarga anak cucu Thomas Matulessy kembali menggunakan vam nya Matulessy. kecuali keluarga yang kemudian tinggal di Amahai.



Siapa Ahmad Lussy
Dalam Buku Api Sejarah yang ditulis oleh Mansyur Suryanegara Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan tanggal dan tahun tidak di ketahui, namun anengnya tanggal kelahiran da tahun di ambil dari tanggal kelahiran Thomas Matulessia, dan memuncukkan polimik di tamba dengan memburuknya hubungan agama di Maluku tahun 1999-2000.pada hal Perang Pattimura diterangkan oleh fakta sejarah, dan mestinya Mansyur Suryanegara tidak menciptakan polimik di dalamnya karena semua variabel fakta peristiwa jelas adanya.  Sebelumnya pada tahun 1980 Nur Tawainela mengemukakan dalil mengenai Kapitan Pattimura tetapi menamba para dan mengaburkan fakta sejarah sebenarnya dalam tulisannya yang berjudul menjernikan Sejarah Pattimura di suatu majalah ( Panji Masyarakat nomor 295 edisi 1 Juni 1980) Tawainella menyatakan Matulessia atau Matulessy adalah hasil pengadopsian nama berdasarkan dialektika orang Maluku yang memanggil Ahmad Lussy selalu singkat Mat maka jadilah migrasi nama dari Mat Lussy menjadi Matulessy, hal ini membuat saya sebagai orang Maluku yang cinta dengan Maluku merasa aneh dengan maksud dari Nur Tawainela ini, sekalipin ada keinginan yang mungkin dapat di mengerti namun cara ini merupakan analogi yang salah kaprah, Jika Nur punya pemahaman analogi seperti ini berarti ada banyak dialik orang Maluku yang ustru di jadikan fam,  seperi nama saya misalnya Hany Tuarissa jika memakai analogi Nur maka akan di singkat Han lalu di tamba fam saya menjadi Hantu, sekedar untuk di ketahui pembaca memnurut buka INI DIA ASLINYA KAPITAN PATIMURA yang di tulis dalam blok https://leonwakano.wordpress.com/2014/01/17/ini-dia-aslinya-kapitan-pattimura-2/  Ahmad Lussy adalah  sosok yang mulai berkipra 100 tahun setelah Thomas Matulessia, dan Dia adalah seorang Marinyo saat rencana penyerangan Kemarkas Belanda di Piru tahun 1919 oleh  Para Kapitang dan Malesi Waihata Telu. Rencana ini bocor di karenakan Belenda suda mengetahui lebih dahulu lewat informasi dari siwalete kakehan.  


Dari Riwayat di atas sangatlah jelas Kapitang Jongker bukanlah seorang pahlawan Nasional karena merupakan tentara Belenda dan tidak perna berjuang untuk sebuah kemerdekaan apalagi Ahmad Lussy, berbeda dengan Thomas Matulessia (Kapitang Pattimura) yang justru berjuang untuk kemerdekaan Maluku (Proklamasi Haria 28 Mei 1817) saat itu hingga akhir hayatnya.


Catatan:
Tulisan ini tidak untuk menyinggung siapapun,
tetapi Tentang kebenaran cerita, semua itu haruslah di teliti kembali

sumber :
Om Thomas Matulessy
Mesium Bahari Jakarta
Buku sejarah Mesium siwalima (sejarah Ambon Hingga RMS)
Buku Sejarah Perjuangan Kapitang Pattimura Pahlawan Indonesia, (Kapten TNI M Sapija 1958) 
Panji Masyarakat nomor 295 edisi 1 Juni 1980
Koran Nasional edisi 11 Mei 1993
Api Sejarah Mansyur Suryanegara Juli 2009 Salamadani Pustaka Semesta

https://leonwakano.wordpress.com/2014/01/17/ini-dia-aslinya-kapitan-pattimura-2/
Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura

Minggu, 24 April 2016

MALUKU YANG MERDEKA



28 Mei 1817 dan 25 April 1950 adalah dua momen dengan alasan yang berbeda.
28 Mei 1817 adalah Proklamasi Haria karena di lakukan di baileo Negeri Haria, yang kemudian di sebarkan oleh Thomas Matulessy kepada raja raja adat di negeri Seram untuk memerdekakan diri dari kolonialisme dan penindasan Belanda. di mana Belanda dengan arogannya memaksa rakyat membuat garam tanpa di bayar, Rayat harus menyerahkan hasil hutan dan lautan dengan bayaran rendah bahkan tidak bayar, dan masih harus kera rodi untuk keperluan dan kepentingan Belanda sendiri, inilah yang menjadi dasar perang kemerdekaan Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessia bersama rekan rekan dan Rakyat Maluku yang di mulai pada 15 Mei 1817 dulu.
sementara
25 April 1950 adalah Proklamasi Repoblik Maluku Selatan yang di bacakan di Negeri Tulehu dan di tanda tangani oleh J.H. Manuhutu
A. Wairisal atas nama Pemerintah Repoblik Maluku Selatan, bukan di lakukan atas dasar penjajahan tetapi semata mata karena kedudukan dan politik yang terjadi di saat itu di mana RMS berpendapat serta beralasan N.I.T. sudah tida sanggup mempertahankan kedudukanja sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar jang masih sajah berlaku, juga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan tertanggal 11 Maret 1947, sedang R.I.S. sudah bertindak bertentangan dengan keputusan2 K.M.B. dan Undang2 Dasarnja sendiri.
sangat jelas dua momen yang sangat berbeda.
Dalam sejarahnya Thomas Matulessy atau Kapitang Pattimura tidak perna mau berkompromi dengan belanda sampai mati begitupun dengan kawan kawan seperjuangan. namun sangat berbeda dengan RMS yang sebagian besar tentara belanda putra Maluku yang tergabung dalam KNIL justru bekerja sama langsung dengan Kerajaan Belanda yang pada akhirnya Kerajaan Belanda hanya memanfaatkan untuk kepentingannya kembali dan menjajah Maluku dan Indonesia pada umumnya.
kematian Mr. Dr. Christiaan Robbert Steven Soumoki dalam hukum yang berlakku di Indonesia membuktikan bahwa Belanda tidak dapat berbuat apa apa,
ketika keinginan Belanda tidak berhasil semua di angkut ke Belenda dengan janji janji manis bahwa mereka akan di memerdekakan kelak, karena janji manis inilah para anggota RMS meninggalkan orang tua dan sanak saudara di Maluku untuk menghadapi setuasi yang terjadi di saat itu sendirian dan memilih keBelanda. tahun dan generasi berganti Belanda tidak bisa memenuhi janji manisnya sekalipun suda banyak aksi demontrasi bahkan pembajakan kereta api, Belenda tetap pada pendiriannya karena memang Belenda sudah tidak bisa lagi memenuhi janjinya, karena Maluku sendiri sudah merdeka dalam Negera Kesatuan Repoblik Indonesia dengan kedaulatannya yang tidak dapat di campuri oleh negara lain.
tanpa menyinggung yang lain,
selamat merayakan 25 April bagi yang masih percaya dengan janji Belanda.
walaupun katong berbeda beta seng bisa buang ale. ale deng beta tetap sudarah.!
25 April 2016
Beta Orang Maluku Warga Negera Indonesia
Hany Tuarissa.

Jumat, 08 Januari 2016

PELANTIKAN UPU LATU NEGERI TIHULALE AMALESSY


Oleh : Hany Tuarissa

Pelantikan Upu Latu ( Raja Adat) di Daerah Maluku terkhusus di Negeri Tihulale Amalessy saat ini memperoleh legitimasi bukan saja berasal dari lembaga adat yang di sebut sebagai Saniri Negeri tetapi juga memiliki legitimasi dari Pemerintah Indonesia mulai level mulai dari level Kecamatan sampai Kabupaten dengan di berlakukannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. Dalam pelaksanaannya tetap masih mengikuti 2 tata cara sesuai dengan adat dan pemerintahan,  dalam hal ini kepala pemerintahan di pegang langsung oleh Upu Latu yang di pilih dan diangkat berdasarkan garis keturunan mata rumah tertentu sebagai mata rumah raja adat, sesuai dengan apa yang di lakoni sejak ratusan tahun silam yang sebelumnya sempat di matikan oleh pemerintah pusat lewat Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa.
Mungkin terlihat sepintas dengan adanya penetapan kepala pemerintahan berdasarkan adat negeri ini maka sudahlah pasti mematikan sistim demokrasi yang sementara tumbuh subur Negara kesatuan repoblik Indonesia, dimana setiap anak Negeri (Desa) yang sebenarnya memiliki potensi dan hak yang sama dalam demokrasi sesuai undang-undang untuk menjadi kepala pemerintahan dan membangun negerinya justru terhalangi karena latar belakangnya yang berasal dari mata ruma yang secara adat tidak memiliki hak sebagai Upu Latu (Raja Adat, bukan tidak mungkin biasa saja ada pendapat bahwa adat menghalangi dan membunuh potensi anak negeri sendiri.
Persoalan di atas menjadi justru mendapat dukungan dari Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa  yang memungkinkan dan memberikan peluang serta kesempatan dalam Demokrasi sehingga Kepala Desa dapat dipilih dari kalangan mana saja asal memenuhi  syarat-syarat administrasi yang telah di tetapkan pemerintah. Bahkan bukan mustahil seorang yang bukan anak negeri pun bisa memiliki kesempatan untuk menadi kepala Desa di negeri tersebut asalkan memiliki dukungan yang banyak. Ketika hal ini di berlakukan secara administrasi ya demokrasi mengalami peralanan yang sangat dinamis, semua orang dalam sebua Negeri (Desa) memiliki peluang yang sama untuk mejadi kepala Desa, dan adat menadi institusi pendamping bukan lagi menjadi sandaran utama dalam kerangka budaya atau kearifan local yang sarat dengan nilai historis dan harmonis. Akibatnya banyak budaya dan peristiwa-peristiwa adat mengalami kemunduran bahkan tragis tidak di pungsikan lagi atau dengan kata lain mati suri. Contohnya adalah Sasi Adat, Pungsi Lembaga adat seperti Kewang, Marinyo dan sejenis yang memiliki landasan adat tidak di jalankan lagi, karena pemimpin Desa sudah tidak lagi memiliki keinginan mempertahankannya.  Akhirnya masyarakat adat ustru mencari jalan pintas dengan memakai lembaga gereja dalam penerapannya, misalnya sasi yang tadinya sasi adat di ubah mejadi sasi gereja.
    
Di Negeri Tihulale sendiri dalam perkembangannya dari tahun ke tahun  tetap mempertahankan pelaksanaan Pemerintahan Negeri di pimpin langsung oleh Upu Latu (Raja Adat) yang di pilih dan di angkat berdasarkan garis keturunan mataruma yang memiliki hak tersebut, meski pun untuk pungsi lembaga lembaga adat sendiri ada beberapa yang sempat mati suri karena berlakunya Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa. Dan sejara historis Negeri Tihulale mengangkat Raja secara adat terakhir  pada tgl 08 Juni 2013 untuk periode 2013 sampai dengan 2018 atas nama Upu Latu Elias Salawane menggantikan Upu Latu sebelumnya. Kalaupun dalam mata rumah tersebut tidak memiliki kandidat maka dari mata rumah tersebut akan memberikan rekomendasi (penunjukan) pada sosok yang telah di tentukan dan di rasa mampu memimpin, apabilah hanya terdapat satu kandidat atau tunggal maka tidak akan terjadi proses demokrasi atau pemilihan.  Pemilihan akan berlangsung apabila ada dua kandidat yang di rekomendasikan dari mata rumah yang berhak tersebut. Pungsi lembaga lembaga adat sendiri yang sempat mati suri karena berlakunya Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa mulai kembali di hidupkan.


Berikut  Vidio Ringkasan Prosesi Adat Pelantikan Raja Negeri Tihulale Amalessy, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Periode 2013-2018, tanggal 08 Juni 2013




Rabu, 06 Januari 2016

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.